Minggu, 29 April 2012

PRESIDEN ANGGAP PEMBAHASAN KENAIKAN BBM SANGAT POLITIS


NAMA KELOMPOK

Angga Aprilia 20211846
Dewi Purnamasari 21211963
Nur Afni Amalia 25211279
Puput Anggraini 25211606


Presiden Anggap Pembahasan Kenaikan BBM
Sangat Politis

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

Jakarta–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, pandangan dan pembahasan tentang kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat politis. Bahkan, segala sesuatunya sering dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama menjelang pemilu 2014.

“Hal ini sebenarnya tidak salah, tetapi apabila sangat politis dan terlalu politis, maka pembahasan dan pemikiran bisa kurang objektif dan kurang rasional,” kata Presiden, dalam keterangan pers seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakart, Sabtu, 31 Maret 2012.

Seperti dikutip dari website setkab.go.id, Sidang Kabinet yang diikuti oleh seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Panglima TNI Laksama Agus Suhartono, Kapolri Jendral Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Anggota Wantimpres, dan Staf Khusus Preside ini membahas keputusan DPR terkait pengesahan APBN-P 2012, yang di dalamnya memberi ruang bagi Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam kondisi tertentu.

Menurut Kepala Negara, tidak pernah ada Presiden dan pemeritahan yang dipimpinnya di Indonesia, yang menaikan harga BBM tanpa alasan dan pertimbangan yang seksama.
“Sejak Indonesia merdeka, sejarah mencatat, telah 38 kali kenaikan BBM. Di era reformasi terjadi 7 kali, termasuk di era Presiden Gus Dur dan era Presiden Megawati,” kata SBY.
Dalam era pemerintahan KIB yang dipimpinnya yang telah berjalan hampir 8 tahun ini, kata Presiden, telah 3 kali terjadi kenaikan harga BBM dan 3 kali pula penurunan harga BBM.
“Saya yakin, setiap Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya, menaikan BBM itu pasti bukan untuk menyengsarakan rakyatnya,” ujar Kepala Negara.

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, menurut SBY, salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

“Itu salah satu kebijakan yang mungkin diberlakukan manakala kita menghadapi tekanan ekonomi yang begitu berat,” tegas Presiden.

Diakui SBY, rencana penyesuaian harga BBM mendapatkan protes dari berbagai kalangan disertai aksi-aksi unjuk rasa di banyak tempat.

“Saya menilai bahwa sering kurang dipahaminya konteks dan alasan mengapa ada pikiran untuk menyesuaikan harga BBM kita,” ujar Presiden.

Lebih lanjut Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan terus memikirkan dan mengembangkan sejumlah kebijakan dan upaya khusus dalam mengantisipasi permasalahan menyangkut postur APBN-P 2012, antara lain kebijakan penghematan energi dilakukan secara sangat serius di seluruh Tanah Air, sehingga menjadi gerakan nasional.

Penerimaan negara yang masih bisa dioptimalkan, tambah Presiden, akan dibuat meningkat, misalnya penerimaan dari pajak dan pertambangan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
“Kita tidak ingin sesuatu yang membikin kokohnya makro ekonomi kita, terganggu manakala kita keliru dalam menetapkan defisit,” tambah SBY. (*)





Episode Kenaikan BBM ke-Sekian
“APBN Turun, Rakyat yang Menanggung?”

Drs. H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi 120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 % saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”

Statement ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul 10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran. Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?

Dari penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan internasional Rp5 triliun. “Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.

Dampak terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”. Negara kita bukan kapitalis, tetapi negara Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana “kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi negara.” Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya secara langsung?

Di samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya masih dikuasai asing. Dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa kebijakan ini melanggar konstitusi Negara dimana “Bumi dan Sumber Daya Alam lainnya dikuasai pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang sebenarnya disebabkan oleh sektor lain.
Jika memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?


Lima Penyebab Rencana Kenaikan BBM Kisruh


Keinginan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas. Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk mencabut satu pasal yang memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa kisruh?

Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.

Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.

Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.

Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada - dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini 'digoreng' oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.

Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada 'sesuatu' yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.

Keempat, ada respons panik dan berupaya 'buang bola' ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar 'lapangan'.

Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar