Minggu, 29 April 2012

KRISIS MONETER

 
BAB I
PENDAHULUAN
 
Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema Fundamental yang �persistent� sekali. Dilemanya adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu.

Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengan kepentingan bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu, barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et nunc!
 
 
BAB II
ISI
 
KRISIS MONETER Indonesia 



KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand �Bath� terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari �Bath� ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.

Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas �band� pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim �band� tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi �13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.

Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97). 

Mengapa?

Selama dekade sebelum krisis, Ekonomi Indonesia bertumbuh sangat pesat. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat Inflasi dan bunga yang rendah, dengan tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN yang Berimbang, kebijakan Ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang luar biasa dan di lain pihak keteledoran yang tidak tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan Pembangunan Ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu. Keteledoran ini juga terjadi dalam negeri. Dimana kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat �cost benefit� secara cermat. Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya sendiri (�bubble economics�), sehingga waktu datang tekanan-tekanan moneter, Pertumbuhan itu ambruk!

Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah �State� dan �Government-led� beralih menjadi �led by private initiatives and market�. Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar � USD. 75 milyar.

Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme Deregulasi diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan Korporasi-Korporasi Swasta yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses Swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, sikonnya belum siap dan masih penuh kerapuhan-kerapuhan, terlebih dunia Perbankan dan Korporasi. Maka runtuhlah bangunan modern dalam tubuh Ekonomi Bangsa. Dan kerapuhan ini ternyata adalah sangat mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi Perbankan dan Korporasi-Korporasi sepertinya tidak mempan selama dan sesudah 5 tahun ini. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap terpuruk. Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta Akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula!

Apa implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan ekonomi kita ini? Peningkatan Pengangguran, Peningkatan Kemiskinan dan Hutang Nasional. Dan hal-hal ini langsung mengena pada nasib ekonomi Rakyat kita. 

Namun akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu Resistensi dan Kreativitas Ekonomi yang militan. Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat dari pertumbuhan Ekonomi, bukan saja menampung reruntuhan-reruntuhan dari ambruknya sektor modern, namun juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Dan yang mengesankan adalah peran dari Asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan sektor informal dan merupakan bagian dari Resistensi Ekonomi Rakyat dalam krisis ini.

Maka para pakar/pengamat yang selama ini meragukan berfungsinya asas kekeluargaan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD-45, itu perlu �pulang kampung� untuk melihat dan mengalami bahwa asas kekeluargaan itu betul-betul hidup di kalangan masyarakat dan sungguh-sungguh merupakan asas solidaritas yang berfungsi dalam kehidupan ekonomi rakyat.

Resistensi, kreativitas ekonomi rakyat, Produktivitas sektor tradisional dan berfungsinya asas kekeluargaan, merupakan kekuatan ekonomi yang riil yang telah mampu menahan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh krisis itu, dan malahan telah mampu pula mengangkat pertumbuhan ekonomi kembali pada permukaan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan +13,7% dengan tercapainya tingkat +0% di tahun 1999, dilanjutkan dengan pertumbuhan +4,8% di tahun 2000, yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi pra krisis (1997, +4,9%). Tentu tidak semuanya oleh Ekonomi Rakyat. Dalam bahasa resmi Ekonomi, pemulihan ekonomi selama 2 tahun itu disebabkan oleh peningkatan ekspor (non Migas), oleh Investasi dan konsumsi. Dalam hal ekspor dan konsumsi, peranan ekonomi Rakyat adalah menonjol. Dalam hal ekspor, cukup berperan ekspor hasil Perkebunan rakyat, sehingga di Manado yang unggul dalam hal cengkeh itu � �dia orang bilang, di Jakarta resesi, di Manado resepsi, no!�. Juga dalam hal konsumsi yang kecuali dipenuhi oleh import, juga oleh produksi dalam negeri, hasil kegiatan rakyat.

Masalahnya adalah mengapa ekonomi Nasional jatuhnya begitu dalam, dalam setahun, tetapi juga dapat cepat pulih dalam 2 tahun berikutnya. Jatuhnya demikian dalam di tahun 1998, menunjukkan betapa rapuhnya dan paniknya sektor Finansial dan Korporasi, Aliassektor modern dari bangunan ekonomi kita. Dan seperti telah dikatakan, begitu rapuhnya sehingga dengan segala �inset� dari modal, energi dan konsentrasi sampai sekarang sektor ini belum dapat berfungsi kembali normal. Dan cepat kembalinya pemulihan ekonomi selama dua tahun berikutnya dikatakan adalah berkat ekonomi Rakyat. Apakah hanya karena itu saja? Tentu tidak hanya itu saja. Faktor kepercayaan pada programa ekonomi Pemerintah dalam kerjasama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi turut bermain peran. Namun secara riil, peran ekonomi Rakyat seperti yang telah digambarkan itu memang besar!

Tetapi antara ekonomi Rakyat/Ekonomi Tradisional dan Ekonomi Modern tidak perlu diadakan dikhotomi. �Dual economy� nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari bangunan ekonomi Nasional yang modern.

Krisis Ekonomi yang kita alami dewasa ini menunjukkan bahwa keserakahan sektor modern akan kredit, fasilitas dan perluasan kegiatan, dan kurang adanya Pengawasan, adanya KKN, itulah yang telah menjerumuskan Ekonomi bangsa ke dalam keterpurukan yang berkelanjutan ini.

Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya Defisit APBN dari tahun ke tahun sedari tahun 50-an dan selama penggalan pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi Nasional yang merisaukan, yang telah menumbangkan ORDE LAMA (Demokrasi Terpimpin) dan dibentuknya ORDE BARU.

Pemerintah/Negara mengambil peran untuk keluar dari krisis tersebut, malahan melanjutkan perannya sebagai Pelaku Utama Pembangunan sesudah krisis itu. Sehingga Pembangunan selama itu disebut �Government/State led development�. Hal ini terjadi bukan karena ideology (Sosialisme) melainkan karena kondisi pragmatis, dimana pada waktu itu tidak ada Perusahaan Swasta, dan kalau ada berada dalam kondisi sangat lemah.

Dibawah Pimpinan Negara/Pemerintah, maka Pembangunan dan peningkatan pendapatan Nasional dan per kapita maju pesat. Jika era Demokrasi Terpimpin sebelumnya adalah era dimana Politik menjadi Panglima (upaya pembentukan dari suatu Sistim Politik Nasional) maka era ORBA dapat dinamakan sebagai era dimana Ekonomi menjadi Panglima (dan upaya-upaya untuk membentuk suatu Sistim Ekonomi Nasional).

Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal, efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.

Masalahnya adalah mengapa pada waktu itu proses Deregulasi tidak diarahkan langsung kepada Ekonomi Rakyat. Ada keraguan di kalangan Pemerintah pada waktu itu terhadap kemampuan Ekonomi Rakyat sebagai penggerak utama dari roda Pembangunan.

Ekonomi Rakyat masih perlu diberdayakan, dan pemberdayaan itu dilakukan melalui �link and match� dengan sektor Swasta. Melalui pemberdayaan sektor Swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika Pembangunan selama ini adalah �top down� maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim �bottom up�, namun melalui sistim (peng)antara �middle down� dan �middle up�. Kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses �memberdayakan�, melainkan proses �memperdayakan�. �Up� dan �down� diperdayakan oleh si �middle�. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini.

Masalahnya sekarang adalah, apakah dalam kondisi krisis dewasa ini, sudah tiba waktunya kita beralih ke Ekonomi Rakyat, melihat peran ekonomi rakyat selama krisis ini seperti yang telah diuraikan itu. Memang ideal, jika bisa begitu. Namun sesuatu yang ideal, tidak lalu harus diidealisasikan, Makna dari suatu ideal adalah bukan sekedar pada idealismenya, namun pada kemampuan untuk merealisasikan apa yang dianggap ideal itu. 

Telah dikemukakan bahwa kemampuan Resistensi Ekonomi Rakyat adalah pada tingkat �subsistence economy�. Ekonomi Rakyat adalah pula ekonomi �from hand to mouth�. Apa yang dihasilkan, dihabiskan! Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal itu diperlukan maka dilaksanakan melalui hutang. Sebab itu peran �lintah darat� besar dalam ekonomi Rakyat.

Ini semua dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan ekonomi Rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki agar tugas Nasional yang diserahkan kepada Ekonomi Rakyat dapat terlaksana dengan baik dan penuh prospek dan perspektif. Apa tugas Nasional itu? Mengatasi Pengangguran, mengatasi Kemiskinan, mengatasi Hutang. Ketiga target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi Rakyat! Suatu tantangan bagi ekonomi Rakyat! Menghadapi tugas besar/tugas nasional ini, para pelaku ekonomi Rakyat perlu di�upgrade�.

Disamping tugas besar Nasional yang berjangka itu, ada pula tugas Nasional yang mendesak! Dewasa ini, terlebih sesudah kejadian 11 September 2001 di Amerika Serikat, kita mengalami kemerosotan investasi dan eksport termasuk Pariwisata. Dalam bahasa ekonominya adalah bahwa kita mengalami kemerosotan dari �external demand�. Kondisi ini perlu diimbangi dengan menciptakan/mengaktifkan �domestic demand� yakni �demand� akan investasi dan konsumsi. Potensi untuk itu ada di dalam Negeri karena masih cukup pendapatan dalam negeri dan simpanan dalam negeri yang tersembunyi dan terpendam. Memang ada pendapatan dan simpanan dalam negeri yang lari keluar, tetapi sebagian besar masih �berkeliaran� di dalam negeri. Mereka tidak menjadi efektif (�effective demand�) antara lain karena ketidakpastian hukum dan keamanan. Maka dari itu programa hukum dan kesesuaian harus menunjukkan prioritas bagi Pemerintah. (Hukum dan keamanan ini juga dituntut oleh para investor asing!). Penciptaan dari �domestic demand� ini mungkin, karena pasar dalam negeri yang besar dan luas. Nah, dalam kontekst ini peran ekonomi Rakyat dapat difokuskan, di�upgrade� dan ditingkatkan.

Hanya jangan dikira jika semua rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka dengan sendirinya Kesejahteraan Rakyat tercapai. Seperti halnya dalam bidang moral dan agama. Jangan disangka jika setiap anggota masyarakat itu bermoral tinggi dan sungguh-sungguh menghayati agamanya, maka masyarakat dengan sendirinya bermoral dan beragama. Diperlukan suatu Institusi dan pendekatan secara Institusional.

Selama ini kita telah bicara banyak mengenai Ekonomi Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan. Apa itu? Ekonomi Rakyat mempunyai dua Aspekintegral. Aspek Orientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan aspek rakyat sebagai Subyek dalam Ekonomi Negara. Dalam hal Ekonomi Kerakyatan maka jelas orientasinya pada kepentingan ekonomi Rakyat banyak, namun tidak selamanya rakyat harus menjadi Subyek Ekonomi. Dalam hal Ekonomi Rakyat, maka baik orientasi pada kepentingan dalam ekonomi, maupun Subyek dalam ekonomi adalah rakyat. Hanya seperti telah diuraikan itu, perlu diingat, bahwa kalaupun Rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan Nasional tercapai. Sebab kesejahteraan Nasional bukanlah somasi/jumlah dari kepentingan masing-masing rakyat. Diperlukan suatu Institusi yang mengarahkan kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan Nasional. Diharapkan bahwa Institusi yang demikian itu adalah antara lain Pemerintah dan Parlemen.

Rakyat sebagai Subyek Ekonomi seperti halnya dengan Korporasi-Korporasi besar/maju, memerlukan perlindungan/kepastian Hukum dan iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi dan Pasar. Hal-hal ini perlu diciptakan oleh Institusi itu.

Masalah ini perlu ditekankan melihat pengalaman-pengalaman dari usaha-usaha rakyat kecil di kota-kota yang lazim dinamakan Kaki Lima yang dikejar-kejar itu. Mereka dianggap sebagai �underground economics�, pengganggu ketertiban umum, sebagai usaha yang �inferior�. (Sementara menurut suatu penelitian, mereka sehari dapat memperoleh antara Rp. 10.000 - Rp. 20.000, melebihi pendapatan orang yang sama di sektor formal). Dilupakan bahwa mereka memenuhi kebutuhan masyarakat. Disitulah letak fungsi ekonomi mereka. Mereka perlu dibimbing, diberi pendidikan, penjelasan-penjelasan dan insentip-insentip. Mereka perlu diberi pengertian bahwa untuk berusaha secara berkelanjutan diperlukan tertib usaha. Untuk menjamin tertib usaha, mereka tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan harus tunduk pada peraturan (hukum) umum! Pengertian yang diperlukan, bukan penggusuran!

Pemberdayaan ekonomi Rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk membina kader-kader Pelaku Ekonomi Generasi baru menggantikan Generasi Pelaku Ekonomi yang sudah tumbang ini. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun suatu Generasi Pelaku Ekonomi Nasional yang bersih, tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi dan fasilitas, apalagi dengan KKN, tangguh mental dan professional dalam berusaha.

Ini berarti pula perlu dikembangkan suatu sistim mobilitas vertikal secara sehat dan mandiri dalam masyarakat dunia usaha! Dewasa ini hal ini diblokir oleh tidak selesai-selesainya proses penyehatan Perbankan dan Korporasi.

Kembali kepada masalah Krisis Moneter dan Pemulihan kembali Ekonomi Nasional. Telah dikemukakan betapa terpuruknya Ekonomi kita dan betapa rapuhnya sektor modern kita, terlebih sektor Finansial dan Korporasi. Dengan segala upaya dan energi serta bantuan luar negeri, kita belum saja melihat titik terang. Lima (5) tahun krisis ekonomi adalah sudah terlalu panjang dan karena sifatnya multidimensional maka ia dapat menggerogoti secara meluas dan mendalam sendi-sendi kita hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan bahaya-bahaya proses desintegrasi sosial, regional dan nasional maka krisis ekonomi yang berkepanjangan ini dapat membawa Bangsa, Negara dan Masyarakat kita kepada kehancuran total. Maka dari itu krisis ini perlu segera diatasi!

Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema Fundamental yang �persistent� sekali. Dilemanya adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu.

Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengan kepentingan bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu, barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et nunc!
 
 
BAB III
KESIMPULAN
 
KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand �Bath� terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari �Bath� ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.

Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas �band� pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim �band� tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi �13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.




SUMBER :
http://indonesiaindonesia.com/f/8533-krisis-moneter-indonesia/
Drs. Frans Seda : Penasehat Ekonomi Pemerintah, mantan Menteri Keuangan

Nama Kelompok : 1EB25
Angga Aprilia 20211846
Dewi Purnamasari 21211963
Nur Afni Amalia 25211279
Puput Anggraini 25211606

PRESIDEN ANGGAP PEMBAHASAN KENAIKAN BBM SANGAT POLITIS


NAMA KELOMPOK

Angga Aprilia 20211846
Dewi Purnamasari 21211963
Nur Afni Amalia 25211279
Puput Anggraini 25211606


Presiden Anggap Pembahasan Kenaikan BBM
Sangat Politis

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

Jakarta–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, pandangan dan pembahasan tentang kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat politis. Bahkan, segala sesuatunya sering dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama menjelang pemilu 2014.

“Hal ini sebenarnya tidak salah, tetapi apabila sangat politis dan terlalu politis, maka pembahasan dan pemikiran bisa kurang objektif dan kurang rasional,” kata Presiden, dalam keterangan pers seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakart, Sabtu, 31 Maret 2012.

Seperti dikutip dari website setkab.go.id, Sidang Kabinet yang diikuti oleh seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Panglima TNI Laksama Agus Suhartono, Kapolri Jendral Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Anggota Wantimpres, dan Staf Khusus Preside ini membahas keputusan DPR terkait pengesahan APBN-P 2012, yang di dalamnya memberi ruang bagi Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam kondisi tertentu.

Menurut Kepala Negara, tidak pernah ada Presiden dan pemeritahan yang dipimpinnya di Indonesia, yang menaikan harga BBM tanpa alasan dan pertimbangan yang seksama.
“Sejak Indonesia merdeka, sejarah mencatat, telah 38 kali kenaikan BBM. Di era reformasi terjadi 7 kali, termasuk di era Presiden Gus Dur dan era Presiden Megawati,” kata SBY.
Dalam era pemerintahan KIB yang dipimpinnya yang telah berjalan hampir 8 tahun ini, kata Presiden, telah 3 kali terjadi kenaikan harga BBM dan 3 kali pula penurunan harga BBM.
“Saya yakin, setiap Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya, menaikan BBM itu pasti bukan untuk menyengsarakan rakyatnya,” ujar Kepala Negara.

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, menurut SBY, salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

“Itu salah satu kebijakan yang mungkin diberlakukan manakala kita menghadapi tekanan ekonomi yang begitu berat,” tegas Presiden.

Diakui SBY, rencana penyesuaian harga BBM mendapatkan protes dari berbagai kalangan disertai aksi-aksi unjuk rasa di banyak tempat.

“Saya menilai bahwa sering kurang dipahaminya konteks dan alasan mengapa ada pikiran untuk menyesuaikan harga BBM kita,” ujar Presiden.

Lebih lanjut Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan terus memikirkan dan mengembangkan sejumlah kebijakan dan upaya khusus dalam mengantisipasi permasalahan menyangkut postur APBN-P 2012, antara lain kebijakan penghematan energi dilakukan secara sangat serius di seluruh Tanah Air, sehingga menjadi gerakan nasional.

Penerimaan negara yang masih bisa dioptimalkan, tambah Presiden, akan dibuat meningkat, misalnya penerimaan dari pajak dan pertambangan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
“Kita tidak ingin sesuatu yang membikin kokohnya makro ekonomi kita, terganggu manakala kita keliru dalam menetapkan defisit,” tambah SBY. (*)





Episode Kenaikan BBM ke-Sekian
“APBN Turun, Rakyat yang Menanggung?”

Drs. H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi 120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 % saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”

Statement ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul 10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran. Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?

Dari penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan internasional Rp5 triliun. “Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.

Dampak terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”. Negara kita bukan kapitalis, tetapi negara Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana “kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi negara.” Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya secara langsung?

Di samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya masih dikuasai asing. Dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa kebijakan ini melanggar konstitusi Negara dimana “Bumi dan Sumber Daya Alam lainnya dikuasai pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang sebenarnya disebabkan oleh sektor lain.
Jika memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?


Lima Penyebab Rencana Kenaikan BBM Kisruh


Keinginan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas. Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk mencabut satu pasal yang memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa kisruh?

Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.

Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.

Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.

Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada - dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini 'digoreng' oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.

Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada 'sesuatu' yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.

Keempat, ada respons panik dan berupaya 'buang bola' ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar 'lapangan'.

Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.

HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH INDONESIA DALAM MELAKSANAKAN PERDAGANGAN ANTAR MANCANEGARA

NAMA KELOMPOK
Angga Aprilia 20211846
Dewi Purnamasari 21211963
Nur Afni Amalia 25211279
Puput Anggraini 25211606
HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH INDONESIA DALAM MELAKSANAKAN PERDAGANGAN ANTAR MANCANEGARA
Setiap negara selalu menginginkan perdagangan yang dilakukan antarnegara dapat berjalan dengan lancar. Namun, terkadang kegiatan perdagangan antarnegara juga mengalami beberapa hambatan. Hambatan-hambatan inilah yang dapat merugikan Indonesia dalam perdagangan internasional. Berikut ini beberapa hambatan yang dialami Indonesia dalam perdagangan internasional.
1. Perbedaan Mata Uang Antarnegara Pada umumnya mata uang setiap negara berbeda-beda. Perbedaan inilah yang dapat menghambat perdagangan antarnegara. Negara yang melakukan kegiatan ekspor, biasanya meminta kepada negara pengimpor untuk membayar dengan menggunakan mata uang negara pengekspor. Pembayarannya tentunya akan berkaitan dengan nilai uang itu sendiri. Padahal nilai uang setiap negara berbeda-beda. Apabila nilai mata uang negara pengekspor lebih tinggi daripada nilai mata uang negara pengimpor, maka dapat menambah pengeluaran bagi negara pengimpor. Dengan demikian, agar kedua negara diuntungkan dan lebih mudah proses perdagangannya perlu adanya penetapan mata uang sebagai standar internasional.
2 . Kualitas Sumber Daya yang Rendah Rendahnya kualitas tenaga kerja dapat menghambat perdagangan internasional. Mengapa? Karena jika sumber daya manusia rendah, maka kualitas dari hasil produksi akan rendah pula. Suatu negara yang memiliki kualitas barang rendah, akan sulit bersaing dengan barang-barang yang dihasilkan oleh negara lain yang kualitasnya lebih baik. Hal ini tentunya menjadi penghambat bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan perdagangan internasional.
3 . Pembayaran Antarnegara Sulit dan Risikonya Besar Pada saat melakukan kegiatan perdagangan internasional, negara pengimpor akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran. Apabila membayarnya dilakukan secara langsung akan mengalami kesulitan. Selain itu, juga mempunyai
risiko yang besar. Oleh karena itu negara pengekspor tidak mau menerima pembayaran dengan tunai, akan tetapi melalui kliring internasional atau telegraphic transfer atau menggunakan L/C.
4 . Adanya Kebijaksanaan Impor dari Suatu Negara Setiap negara tentunya akan selalu melindungi barang-barang hasil produksinya sendiri. Mereka tidak ingin barang-barang produksinya tersaingi oleh barang-barang dari luar negeri. Oleh karena itu, setiap negara akan memberlakukan kebijakan untuk melindungi barang-barang dalam negeri. Salah satunya dengan menetapkan tarif impor. Apabila tarif impor tinggi maka barang impor tersebut akan menjadi lebih mahal daripada barang-barang dalam negeri sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi kurang tertarik untuk membeli barang impor. Hal itu akan menjadi penghambat bagi negara lain untuk melakukan perdagangan.
5 . Terjadinya Perang Terjadinya perang dapat menyebabkan hubungan antarnegara terputus. Selain itu, kondisi perekonomian negara tersebut juga akan mengalami kelesuan. Sehingga hal ini dapatmenyebabkan perdagangan antarnegara akan terhambat.
6 . Adanya Organisasi-Organisasi Ekonomi Regional Biasanya dalam satu wilayah regional terdapat organisasiorganisasi ekonomi. Tujuan organisasi-organisasi tersebut untuk memajukan perekonomian negara-negara anggotanya. Kebijakan serta peraturan yang dikeluarkannya pun hanya untuk kepentingan negaranegara anggota. Sebuah organisasi ekonomi regional akan mengeluarkan peraturan ekspor dan impor yang khusus untuk negara anggotanya. Akibatnya apabila ada negara di luar anggota organisasi tersebut melakukan perdagangan dengan negara anggota akan mengalami kesulitan.
PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN NEGARA INDONESIA 15 TAHUN TERAKHIR
1. Struktur Neraca Pembayaran Indonesia
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) merupakan pencatatan atas transaksi ekonomi yang terjadi antara penduduk dengan bukan penduduk Indonesia pada suatu periode tertentu. Secara umum, transaksi ekonomi yang tercakup dalam NPI dapat dibagi menjadi dua kelompok:
(1) barang (goods), jasa (services), pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer);
(2) modal/finansial (capital/financial).
NPI hampir selalu mengalami surplus selama satu dasawarsa terakhir, kecuali pada tahun 2001 dan 2008. Nilai surplusnya amat berfluktuatif. Sebagai contoh, pada tahun 2004 dan 2005 hanya surplus sebesar USD 0,3 milar dan USD 0,4 miliar. Pada tahun 2006 terjadi lonjakan surplus yang mencapai lebih dari USD 14,5 miliar, serta masih bertahan dengan surplus USD 12,7 miliar pada tahun 2007. Defisit pada tahun 2008 mencapai hampir USD 2 miliar. Pada tahun 2009, NPI kembali surplus sekitar USD 13 miliar,
Adapun struktur Neraca Perdagangan Indonesia sebagai berikut :
> Transaksi Berjalan
A. Barang, bersih (Neraca Perdagangan)
1. Ekspor, fob
2. Impor, fob
B. Jasa-jasa, bersih
C. Pendapatan, bersih
D. Transfer Berjalan, bersih
> Transaksi Modal dan Finansial
A. Transaksi Modal
B. Transaksi Finansial
1. Investasi Langsung
a. Ke Luar Negeri, bersih
b. Di Indonesia (FDI), bersih
2. Investasi Portofolio
a. Aset, bersih
b. Kewajiban, bersih
3. Investasi Lainnya
a. Aset, bersih
b. Kewajiban, bersih
> Jumlah (I + II)
> Selisih Perhitungan Bersih
> Neraca Keseluruhan (III + IV)
> Cadangan Devisa dan yang Terkait
a. Perubahan Cadangan Devisa
b. Pinjaman IMF
2. Ulasan Posisi Neraca pembayaran Indonesia 2004 – 2009
A. Neraca Transaksi Berjalan (Current Account)
Transaksi berjalan pada Tw.IV-2009 mencatat surplus USD3,4 miliar, lebih tinggi dari surplus USD2,2 miliar pada triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut bersumber dari bertambahnya suplus neraca perdagangan nonmigas, neraca migas dan neraca transfer berjalan. Peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas didorong oleh kenaikan ekspor nonmigas terkait dengan terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dunia serta membaiknya harga beberapa komoditas ekspor. Sementara itu, kenaikan produksi minyak berdampak pada berkurangnya deficit neraca minyak. Sedangkan penambahan volume ekspor gas. Peningkatan defisit neraca jasa terutama bersumber dari naiknya pengeluaran jasa transportasi barang impor. Defisit neraca pendapatan turut pula meningkat disebabkan bertambahnya pembayaran dividen/hasil keuntungan perusahaan PMA serta pembayaran bunga utang luar negeri, terutama sektor pemerintah.
Kinerja transaksi berjalan pada triwulan IV 2008 mengalami perbaikan dengan mencatat defisit yang lebih kecil (defisit USD0,2 miliar) daripada yang terjadi pada triwulan III 2008 (defisit USD0,9 miliar). Kontributor utama dari perbaikan transaksi berjalan adalah penurunan pada defisit neraca pendapatan akibat berkurangnya pembayaran bagi hasil kepada kontraktor migas asing. Beberapa kontributor lain adalah impor minyak yang mengecil serta masih stabilnya penerimaan devisa dari turis asing dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam periode yang sama, sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik, nilai impor nonmigas turun 12,4% dibandingkan triwulan III 2008 tetapi masih naik 27,9% dibandingkan triwulan IV 2007.
Pada 2006 mencatat surplus sebesar USD9,6 miliar, melonjak tinggi dibanding 2005 dan 2004 yang hanya mencapai USD278 juta. Angka surplus transaksi berjalan ini sedikit lebih kecil dibanding prakiraan semula (NPI publikasi November 2006) sebesar USD9,7 miliar. Hal ini terkait dengan pertumbuhan impor nonmigas yang mencapai 7%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 4%. Tingginya surplus transaksi berjalan didukung oleh surplus neraca perdagangan, baik migas maupun nonmigas, yang secara keseluruhan meningkat dari USD17,5 miliar pada kurun waktu 2004- 2005 menjadi USD29,7 miliar pada 2006. Kenaikan surplus juga terjadi pada neraca current transfer. Sementara itu, neraca jasa dan neraca pendapatan (income) mengalami kenaikan defisit.
b. Neraca Modal (Capital Account)
Transaksi modal pada Tw.IV-2009 mencatat surplus USD14 juta. Surplus tersebut berasal dari adanya bantuan hibah untuk investasi, seperti pembangunan sekolah, pembangunan perumahan, dan persenjataan. Pemberian hibah oleh donator asing tersebut sebagian terkait dengan upaya pemulihan kondisi pasca bencana alam di Sumatera. Dari total hibah investasi tersebut, sebagian besar disalurkan melalui sektor swasta (LSM) sekitar USD12 juta, sementara sektor pemerintah memperoleh USD2 juta.
Transaksi modal pada triwulan IV 2008 mencatat surplus sebesar USD29 juta, menurun disbanding triwulan sebelumnya (USD200 juta). Surplus tersebut terutama berasal dari bantuan hibah untuk investasi, seperti pembangunan rumah tinggal, jembatan, jalan, sekolah, dan lain-lain. Keseluruhan hibah tersebut diberikan masih dalam rangka bantuan korban bencana alam di beberapa tempat di tanah air. Dari total hibah tersebut, sebagian besar (90%) merupakan hibah
investasi melalui sektor swasta (NGO) yakni sekitar USD26 juta dan sisanya USD3 juta melalui sektor public (pemerintah).
Selama 2006 mengalami surplus USD2.451 juta, meningkat sangat tajam dari surplus yang terjadi di 2005 sebesar USD345 juta. Angka tersebut juga jauh lebih tinggi dari prakiraan semula, yaitu defisit USD 855 juta (NPI exe. Nov 2006). Tingginya surplus tersebut akibat meningkatnya aliran masuk investasi portofolio, terutama dalam bentuk pembelian saham, serta realisasi penarikan program loan yang lebih besar daripada perkiraan semula. Surplus tersebut juga bersumber dari berkurangnya aset penduduk di luar negeri berupa rekening giro dan deposito yang cukup signifikan.
c. Perubahan Cadangan Devisa
Sejalan dengan surplus neraca pembayaran Indonesia selama Tw.IV-2009, cadangan devisa pada akhir triwulan tersebut meningkat menjadi USD66,1 miliar, dari posisi pada akhir triwulan sebelumnya sebesar USD62,3 miliar. Adapun komponen cadangan devisa terdiri dari securities (surat-surat berharga) sebesar USD57,1 miliar (86,4% dari total cadangan devisa), currency & deposits sebesar USD3,3 miliar (4.9%), special drawing rights sebesar USD2,8 miliar (4,2%) dan monetary gold sebesar USD2,6 miliar (3,9%).
Sejalan dengan perkembangan neraca pembayaran Indonesia yang secara keseluruhan mencatat deficit cadangan devisa pada akhir Tw. IV-2008 menurun sekitar USD5,5 miliar (10%) menjadi USD51,6 miliar, dari posisi pada akhir triwulan sebelumnya sebesar USD57,1 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah selama 4,0 bulan. Komposisi cadangan devisa terdiri dari securities (surat-surat berharga ) sebesar USD45,5 miliar (88% dari total cadangan devisa), currency & deposits sebesar USD3,7 miliar (7%) dan monetary gold sebesar USD2,0 miliar (4%). Posisi surat-surat berharga meningkat dari akhir triwulan III tahun 2008 sebesar USD41,0 miliar. Sementara itu, posisi currency & deposits dan monetary gold mengalami penurunan, yaitu masing-masing dari USD13,5 miliar dan USD2,1 miliar pada akhir triwulan sebelumnya.
Tahun 2006 cadangan devisa mencapai USD42,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan posisi akhir tahun 2005 yang mencapai USD34,7 miliar, dan dari prakiraan semula sebesar USD40,4 miliar (NPI exe. Nov 2006). Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah selama 4,5 bulan. Peningkatan tersebut berasal dari
kenaikan penerimaan devisa hasil ekspor migas akibat kenaikan harga minyak. Kenaikan cadangan devisa sebagian juga terkait dengan langkah Bank Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar yang cenderung menguat, terutama pada triwulan pertama, sebagai akibat terus meningkatnya arus masuk dana jangka pendek.
3. Perkembangan Devisa Indonesia
Dalam kurun waktu tahun 2004-2009, cadangan devisa Indonesia mengalami fluktuluasi, yakni pada tahun 2004, cadangan devisa Indonesia sebesar 36,3 Miliar US dolar, selanjutnya pada tahun 2005 menjadi sebesar 34,7 dan pada tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 42,6 miliar dollar. Kenaikan ini berasal dari kenaikan penerimaan devisa hasil ekspor migas akibat kenaikan harga minyak yang rata-rata mencapai USD62,7/bl, lebih tinggi dari rata-rata tahun sebelumnya sebesar USD52/bl. Kenaikan cadangan devisa sebagian juga terkait dengan langkah Bank Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar yang cenderung menguat yang di sebabkan oleh masuknya dana jangka pendek dari luar. Tahun 2007 cadangan devisa kembali naik ke posisi 56,9 milliar Dollar dan pada tahun 2008 sebesar 69,1 Miliar Dollar serta pada tahun 2009 posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 66,91 milyar dollar.
Kenaikan cadangan devisa kita berdampak kepada menguatnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar. Dari sini dapat kita simpulkan terjadinya perubahan cadangan devisa akan mempunyai dampak terhadap berubahnya nilai tukar rupiah. Dalam kurun waktu tahun 2004-2009, penguatan nilai tukar rupiah di sebabkan oleh derasnya arus kas atau modal dari luar. Sebagai gambaran pada akhir tahun 2004, nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp. 9.244/Dollar, tahun 2005 sebesar Rp. 9.781/dollar, tahun 2006 Rp. 8.975/dollar, tahun 2007 sebesar Rp. 9.372/dollar, tahun 2008 Rp. 10.895/dollar dan pada tahun 2009 sebesar Rp. 9.353/dollar.
4. Krisis Ekonomi Dunia tahun 2008 dan Dampaknya terhadap Indonesia.
Dunia finansial global kembali mendapatkan guncangan saat Lehman Brothers, bank investasi keempat terbesar di AS, menyatakan bangkrut pada pertengahan Oktober 2008.
Rambatan krisis keuangan AS pada dasarnya adalah dampak dari gelembung pasar keuangan yang pecah Implikasi yang paling menonjol adalah keketatan likuiditas (liquidity squeeze) yang disebabkan oleh kepercayaan yang anjlok dan sistem kredit yang macet. Dana di tarik dari emerging markets ke pusat-pusat keuangan di AS dan negara-negara industri lain (flight to
quality). Keketatan likuiditas ini merembet dari episentrum-nya, Amerika Serikat, ke Eropa dan Asia. Contagion effects ini sedang berjalan dan pada akhirnya dapat membawa pada resesi dunia, dengan implikasi terhadap pertumbuhan dan ekspor Negara negara berkembang termasuk Indonesia.
Untuk mengantisipasi dampak krisis tersebut, BI terus berkoordinasi dengan Pemerintah dalam memilih kebijakan moneter dan akan menempuh beberapa langkah, yaitu:
a. Memperkuat likuiditas sektor perbankan. Bisnis yang memanfaatkan dana dari pembiayaan asing harus menyesuaikan tingkat ekspansi usahanya.
b. Menjaga pertumbuhan kredit pada tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.
c. Terkait neraca pembayaran, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia saat ini aman. Namun demikian, BI akan terus menjaga volatilitas Rupiah agar gejolaknya tidak tajam serta akan tetap berada di pasar dengan tujuan menjaga stabilitas nilai tukar.
Krisis ekonomi yang terjadi di USA akan berdampak pada dua hal, yakni pengeringan likuiditas dan pelambatan ekonomi global. Seretnya likuiditas global dan relatif lamanya pemulihan ekonomi global akan berpengaruh pada kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sesuai dengan perkembangan, IMF/WEO telah merevisi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009 menjadi hanya 0,5%. Perubahan tersebut berdampak pada menurunnya asumsi pertumbuhan ekonomi domestik menjadi 4-5%. Hal ini akan memberi dampak pada perkiraan NPI 2009 sebagai berikut :
a. Ekspor non migas akan memburuk hingga tumbuh negatif akibat permintaan eksternal terhadap produk ekspor Indonesia menurun tajam.
b. Impor non migas akan tumbuh menjadi negatif akibat perlambatan ekonomi domestik.
c. Transaksi berjalan akan mencatat defisit karena permintaan eksternal turun lebih tajam daripada permintaan domestik.
d. Transaksi modal dan finansial juga akan mengalami defisit, akibat berkurangnya arus masuk modal asing. Namun adanya rencana emisi global bond dan sukuk valas serta penarikan contigency loan (standby loan) akan menopang transaksi modal dan finansial sehingga hanya mengalami defisit yang kecil dan cadangan devisa tetap berada pada level aman.